Selasa, 25 Januari 2011

Terjadinya Danau Batur


Pada waktu itu Bali sedang dilanda musim paceklik. Sawah dan ladang kering tanpa tanaman. Panen gagal. Banyak orang yang mati kelaparan.
Tersebutlah seorang pemuda bernama Wayan. Dia baru saja pulang dari pura. Langkahnya gontai karena lapar. Dalam perjalanan ke rumahnya, dia bertemu dengan lda Ayu, kekasihnya.


"lda Ayu, ada apa? Mengapa engkau terburu-buru?"
"Kak Raka terluka parah, cepat pergilah ke rumahku. Kak Raka ingin mengatakan sesuatu padamu."
"Rupanya ada sesuatu yang penting," pikir Wayan. Dia lalu bergegas ke rumah lda Ayu. lda Ayu sendiri segera menuju ke rumah Wayan untuk memberitahukan kepergian Wayan kepada orang tuanya.
Sesampainya di rumah lda Ayu, orang-orang sudah berkerumun. Tawa mereka berderai. Wayan menjadi bingung. Di sela-sela kebingungannya dia segera menemui Raka. Wayan sangat terkejut melihat keadaan Raka.
Sekujur tubuhnya terluka parah.   
"Raka, apa yang terjadi?" Tanya Wayan. "Engkau bilang akan mencari kerja ke desa tetangga, tetapi kini kau pulang dalam keadaan seperti ini?"
"Wayan, kuharap kau percaya padaku dan tidak menertawakanku seperti tetanggaku itu. Aku belum bisa mendapatkan pekerjaan di desa tetangga. Malah aku jadi korban keganasan si raksasa Kebo lwa. Dia merusak desa-desa itu karena mereka tidak bisa menyediakan makanan untuknya. Aku khawatir Kebo lwa akan merusak desa kita juga."
"Kebo lwa? Tetapi apa mungkin Kebo lwa datang kemari? Lagipula bukankah dulu Kebo lwa pernah membantu desa kita membangun jalan, rumah, dan pura?"
"Justru karena desa kita pernah dibantu oleh Kebo lwa itulah, maka dia pasti akan meminta imbalannya. Sekarang pergilah menemui ketua desa. Katakan pada beliau tentang hal ini!"
Wayan percaya kepada Raka. Lalu dia berpamitan dan bergegas menuju kediaman ketua desa. Dalam perjalanan, Wayan bertemu dengan lda Ayu. lda Ayu ingin pergi bersama Wayan, tetapi Wayan tidak mengizinkan. lda Ayu merasa sedih, tetapi dia menuruti perkataan Wayan.
Akhirnya Wayan sampai di rumah ketua desa. Dia mengabarkan apa yang sudah didengarnya dari Raka. Namun, ketua desa tidak mempercayainya.
"Tapi, Pak. Ini demi keselamatan warga. . ." kata Wayan
berusaha meyakinkan ketua desa. Namun ketua desa malah
mengusirnya. Akhirnya Wayan pulang dengan kecewa.
Di depan rumah Raka, orang-orang masih berkumpul membicarakan cerita Raka. Beberapa orang mulai percaya akan kata-kata Raka. Pada saat mereka asyik berbicara, Kebo lwa tampak memasuki desa. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang marah.

"Orang-orang desa tak tahu membalas budi, kutolong kalian

membuat sumur, rumah, dan pura, tetapi kalian tak ingat pada

budi baikku," gumam Kebo lwa.

"Hei manusia, mana makanan untukku?" teriak Kebo lwa.

Suaranya bagai guntur. Semua penduduk desa ketakutan.
"Aku datang hanya untuk minta makan," kata Kebo lwa. la menjadi gusar karena tidak ada yang menjawab tegurannya. Dia mencabut satu batang pohon dan mengayunkannya ke rumah-rumah. Banyak rumah yang hancur. Banyak pula orang yang mati karenanya. Karena tak menemukan makanan yang diinginkannya, Kebo lwa semakin marah. Lalu ia membungkuk, mengambil mayat-mayat dan melahapnya dengan rakus.
Raka masih terbaring. Ketika lda Ayu menghampirinya, Raka menyuruhnya pergi. "Ida selamatkan dirimu!" Namun mereka tidak sempat menyelamatkan diri.
Sesampainya di rumah, Wayan sangat terkejut. Rumahnya telah hancur. Ibunya tergeletak tak bernyawa di antara mayat-mayat tetangganya. Wayan sangat sedih. la pun teringat lda Ayu dan segera menuju ke rumahnya. Kebo lwa masih mengamuk. Namun, Wayan nekat mendatangi rumah lda Ayu. Wayan menjerit. lda Ayu telah tewas demikian juga Raka. Malang tak dapat ditolak. Wayan yang sedang meratapi kematian orang yang dikasihinya terkena ayunan batang pohon besar yang diayunkan oleh Kebo Iowa. Akhirnya Wayan pun mati.
"Itulah akibat kalian tak memberi makan padaku. Ingat, aku akan kembali lagi nanti! Akan aku hancurkan desa ini kalau kalian tidak memberiku makan." Kebo lwa lalu melangkah meninggalkan desa itu.
Tampak ketua desa terduduk lemas di sisi bekas rumahnya. la menangis karena anak dan istrinya meninggal akibat keganasan Kebo lwa. Lalu timbullah penyesalannya karena ia tidak mau mendengar dan mempercayai perkataan Wayan.
"Kebo lwa pasti akan mengamuk lagi jika tidak diberi makan. Para ketua desa berkumpul dan merundingkan cara mengakhiri keganasan Kebo Iwa Akhirnya ditemukan satu cara, yaitu mengalah untuk menang."
Ketut Aryana adalah ketua desa yang dipilih untuk melaksanakan rencana yang telah disepakati itu. la meminta para ketua desa lainnya agar mengumpulkan makanan yang masih ada di desa masing-masing. Setelah makanan terkumpul, beberapa orang membawanya ke kediaman Kebo lwa, dipimpin Ketut Aryana.
"Hua ha ha ha ha, hmmmmm, akhirnya kalian memenuhi keinginanku." Kebo lwa segera melahap makanan yang berpikul-pikul itu. "Hmm, nikmatnya. Aku kenyang sekarang. Nah sekarang sebagai tanda terima kasih, apa yang kalian inginkan dariku?"
"Hanya satu, dan bila selesai, makanan buatmu kami siapkan," jelas Ketut Aryana.
"Apa itu?" tanya Kebo lwa.
"Tolong buatkan sebuah sumur yang besar, yang akan menjadi sumber air minum bagi kami."
Kebo lwa menyanggupi dan mulai mengerjakan penggalian. Dengan kuku-kukunya yang runcing dia menggali tanah dengan sangat mudah. Makin lama makin lebar dan dalam. Kepalanya sudah tidak tampak lagi. Air pun mulai mengalir menggenangi dasar sumur yang dibuatnya.
Ketut Aryana memberi isyarat kepada semua orang agar segera melaksanakan rencana mereka. Orang-orang pun segera melemparkan batu kapur ke dalam sumur. Batu-batu itu menimpa Kebo lwa. Kebo Iwa terkejut dan berusaha naik ke atas tetapi sia-sia. Karena tercampur batu kapur, air di dalam sumur itu mendidih. Makin lama air makin naik hingga menenggelamkan tubuh Kebo Iwa. Akhirnya, Kebo Iwa pun mati. Semua orang bersorak kegirangan. Namun, mereka haws segera pergi karena air dari sumur itu terus meluap dan mengalir bagaikan sungai. Luapan air itu pun membentuk sebuah danau.
"Sumber malapetaka itu sudah musnah!" seru Ketut Aryana. "Kita patut bersyukur kepada yang Maha kuasa." Semua orang lalu pergi ke pura dan melakukan peribadatan. Mereka merasa lega dan tetap berlapang dada walaupun orang-orang yang meninggal tidak bisa dihidupkan lagi.
Danau yang terbentuk dari luapan air sumur itu kemudian menjadi danau yang dikenal sebagai danau Batur. Sampai sekarang danau itu masih dapat dilihat di Bali.

 
Sumber:    Asal-Usul Gunung Batur, oleh Putu dan Har, Citra Budaya, Bandung.

1 komentar:

syaiful anwar mengatakan...

kasih buku tamu bro biar bisa absen....'' hehehehe

Posting Komentar